REFORMASI PENDIDIKAN SUATU KEHARUSAN UNTUK MEMASUKI MILENIUM III(SUATU RENUNGAN UNTUK PENDIDIKAN ISLAM)

A. Pendahuluan

Reformasi merupakan istilah yang amat populer pada masa krisis ini dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta ini, termasuk reformasi di bidang pendidikan [Suyanto dan Hisyam, 2000:1]. Pada era reformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupan. Tilaar (1999:3), mengatakan masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa transformasi. Era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Euforia domokrasi sedang marak dalam masyarakat Indonesia. Di tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai jenis pendapat, pandangan, konsep, yang tidak jarang yang satu bertentangan dengan yang lain, antara lain berbagai pandangan mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa depan. Upaya untuk membangun suatu masyarakat, bukan perkerjaan yang mudah, karena sangat berkaiatan dengan persoalan budaya dan sikap hidup masyarakat. Diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, “dengan kata lain diperlukan suatu paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan” [Tilaar, 1998:245].

Berbicara masalah reformasi pendidikan, banyak substansi yang harus direnungkan dan tidak sedikit pula persoalan yang membutuhkan jawaban. Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya membangun suatu masyarakat. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan, karena pendidikan sebagai “sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka” (Conference Book, London, 1978 :15-17). Jika kita mau berpikir dengan menempatkan pendidikan dalam dataran rohani, pendidikan tidak memiliki titik henti yang sudah pasti terminalnya, tetapi merupakan sebuah roda yang terus berputar seiring dengan denyut kehidupan itu sendiri. Di sinilah dinamikan pendidikan akan senantiasa tampak dalam dialog segar dan mampu membuka wacana berpikir bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.

Reformasi pendidikan merupakan hukum alam yang akan mencari jejak jalannya sendiri. khususnya memasuki masa milenium ketiga yang mengglobal dan sangat ketat dengan persaingan, dan agar kita tidak mengalami keterkejutan budaya dan merasa asing dengan dunia kita sendiri (Suyanto dan Hisyam, 2000:1-2), maka pendidikan Islam dalam perkembangannya setidaknya didisain untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut, agar merupakan sebuah potret di kemudian hari.

B. Reformasi Pendidikan Pada Milenium Ketiga

Milenium ketiga baru saja kita masuki. Tentu saja bekal hidup pada millennium tersebut harus berbeda dengan bekal hidup kita pada milenium kedua, khususnya pada abad ke-19-20. Kehidupan pada milenium ketiga benar-benar berada pada tingkat persaingan global yang sangat ketat. Artinya, siapa saja yang tidak memenuhi persyaratan kualitas global, akan tersingkir secara alami dengan sendirinya (Suyanto dan Hisyam, 2000:2). Salah satu paradigma yang berbeda adalah paradigma di dalam aspek stabilitas dan predikbilitas, bila pada milenium kedua orang selalu berfikir bahwa segala sesuatu itu stabil dan bisa diprediksi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas (Djamaluddin Ancok, 1998:2).

Untuk menghadapi kondisi milineum ketiga yang semakin tidak bisa diprediksi tersebut, diperlukan kesipan sikap mental manusia untuk menghadapi perubahan yang sangat cepat. Orang tidak bisa lagi bersifat reaktif, hanya menunggu dan menghindari setiap persoalan atau resiko demi resiko, dengan mempertahankan status-qua. Tetapi pada era milineum ketiga, orang lebih bersifat proaktif dengan memiliki toleransi atas ketidakjelasan yang terjadi akibat perubahan dengan tingkat dinamika yang tinggi. Pertanyaannya, sudahkan kita siap untuk menghadapi perubahan tersebut? Kelihatannya belum. Itulah sebabnya perlu selalu melakukan pembaruan dalam bidang pendidikan Islam dari waktu ke waktu tanpa henti.

Nampaknya, kita tidak boleh lagi selalu membanggakan keberhasilan pendidikan pada masa lampau [bukan melupakan sejarah], karena “tanpa mengkaji ulang relevansi keberhasilan itu dengan setting kehidupan global masa kini dan masa yang akan datang” [Suyanto dan Hisyam, 2000:2]. Maka, untuk mewujudkan reformasi yang sedangkan digulirkan sekarang ini, nampaknya perlu kita “memperhatikan metafora John F.Kennedy yang dikutip oleh Colling [1993:22] yaitu “Change is a way of life. Those who look to the past or present will miss the future“.

Metafora tersebut menurut Suyanto, pantas diterjemahkan dalam kepentingan reformasi pendidikan kita. Artinya, dalam melakukan reformasi pendidikan kita harus tetap berpegang pada tantangan masa depan yang penuh dengan persaingan global. Kita semua perlu melakukan intropeksi, apakah sekiranya sebagai bangsa, kita sudah yakin memiliki kemampuan seperti yang dituntut dalam persaingan global pada milenium ketiga nanti” [Suyanto dan Hisyam, 2000:2-3].

Apabila kita berbicara kemampuan dan kesiapan sebagai anak bangsa, tampaknya kita belum siap benar menghadapi persaingan global pada milenium ketiga. Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk siap bersaing di tingkat global. Apabila “dilihat dari pendidikannya, angkatan kerja kita saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar angkatan kerja (53%) tidak berpendidikan, yang berpendidikan dasar sebanyak 34%, berpindidikan menengah 11%, dan berpendidikan tinggi hanya 2%. Padahal tuntutan dari dunia kerja pada akhir pembangunan jangka panjang II nanti mengharuskan angkatan kerja kita berpendidikan” [Boediono, 1997:82]. Sebenarnya sektor pendidikan menjadi tumpuan harapan dan memiliki peran strategis dan fungsional dalam upaya membangun dan meningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pendidikan sebenarnya selalu didesain untuk senantiasa berusaha menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan. Tetapi pada kenyataannya, kondisi “pendidikan kita masih melahirkan mismatch yang luar biasa dengan tuntutan dunia kerja. Kondisi seperti ini juga berarti bahwa daya saing kita secara global amat rendah [Suyanto dan Hisyam, 2000:3].

1. Ekses Produk Pendidikan Orde Baru

Apabila kita direnungkan kondisi sekarang ini, dengan munculnya kekerasan, masyarakat bertindak menghakimi sendiri, dan berbagai macam bentuk perilaku kekerasan, menggambarkan bangsa ini sedang sakit. Nampaknya ada sesuatu yang “salah” dari reformasi, apakah sistem pendidikan yang “salah” karena hanya “membentuk” manusia-manusia yang tidak “mampu”, [Salahuddin, 1998:303), menjadi beban, dan brutal, ataukah merupakan ekses dari kebijakan dan paraktik pendidikan di masa “rezin Orde Baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukakn pemberdayaan masyarakat secara efektif.

Walaupun secara kuantitatif rezim ini memang telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang pendidikan. Dan patut diakui kemajuan-kemajuan pendidikan secara kuantitatif bisa kita rasakan selama Orde Baru [Suyanto dan Hisyam, 2000:5]. Namun keberhasilan kuantitatif ini, belum terlihat pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan suatu sistem pendidikan, dan tidak pernah terjadi. “Mengapa demikian? Karena Orde Baru, setelah lima tahun pertama berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode.

Akibatnya, sistem pendidikan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safetynet bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan itu, melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket” [Suyanto dan Hisyam, 2000:7]. Pendidikan produk Orde Baru belum bisa diharapkan untuk membangun dan pemberdayakan masyarakat, karena pendidikan yang berjalan pada masa Orde Baru dan produknya dapat dirasakan sekarang ini, sebatas pada sosialisasi nilai dengan pola hafalan, dan kreativitas dipasung. Menurut Tilaar, bahwa “sistem pendidikan nasional sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa pada saat itu.

Maka selama Orde Baru telah tercipta suatu hidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Pemerintah Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia [Tilaar, 1999:4]. Patut diakui, bahwa produk pendidikan Orde Baru, masih berpengaruh sampai sekarang ini. Sedangkan kehidupan politik bangsa sekarang sudah mengalami perubahan yaitu memasuki era reformasi, sehingga paradigma yang digunakan pada era Orde Baru tidak dapat digunakan pada era rfoemasi, karena pada era reformasi menuntut kembali kedaulatan rakyat yang telah hilang. Sementara dalam usaha merubah kehidupan masyarakat, baik pada pola pikir, pandangan, dan tindakan masih menggunakan paradigma Orde Baru. Maka, pada era reformasi sekarang yang sedang bergulir ini, seharusnya pendidikan nasional dikembalikan kepada fungsinya yaitu memberdayakan masyarakat dengan mengembalikan kedaulatan rakyat untuk membangun dirinya sendiri.

“Pendidikan nasional perlu direformasi untuk mewujudkan visi baru masyarakat Indonesia yaitu suatu masyarakat madani Indonesia” [Tilaar, 1999:4]. Hal ini, juga terjadi pada pendidikan Islam, karena pendidikan Islam mempunyai kedudukan yang sama dalam sistem pendidikan nasional Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk itu, pendidikan Islam harus diupayakan untuk direformasi, karena posisi pendidikan sebagai sub sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari kehidupan politik bangsa yang sedang mengalami perubahan.

2. Langkah untuk Reformasi

Mencermati kondisi sekarang ini apa yang perlu dilakukan, nampaknya hal yang urgen adalah kita harus menyusun langkah-langkah untuk reformasi pendidikan dan harus melepaskan diri dari paradigma Orde Baru, karena pola pikir kita, pandangan, bertindak dan berbuat sekarang ini masih menggunakan paradigma produk pendidikan selama era Orde Baru. Maka “untuk menghapuskan ciri dan ekses negatif proses dan hasil pendidikan selama Orde Baru, pemerintah sekarang perlu dengan sadar mengambil berbagai kebijakan reformasi secara substansial, dan kebijakan tersebut perlu memperhatikan berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi oleh bangsa ini [Suyanto dan Hisyam, 2000:8).

Untuk menjawab persoalan tersebut, saat ini pemerintah telah memiliki tujuh poin arah kebijakan program pendidikan nasional yang digariskan dalam GBHN 1999-2004, sebagai beriktu : Pertama, Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi, kedua, meningkat kemampuan akademik dan profesional, ketiga, melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk kurikulum, keempat, memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah, kelima, melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, keenam, meningkatan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik masyarakat maupun pemerintah, dan ketujuh, mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah” (GBHN,1999-2000:23-24). Tujuh poin strategi arah kebijakan program pendidikan nasional yang dicanakan, bisa diharapkan dan meyakinkan bahwa pendidikan nasional kita secara makro cukup menjanjikan bagi penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki keunggulan konpetitif di masa akan datang.

Maka dengan tujuh poin sasaran kebijakan program pendidikan nasional tersebut, perlu dijabarkan secara operasional dengan menata kembali kondidisi pendidikan nasional kita yaitu perlu ditempuh berbagai langkah baik pada bidang manajemen, perencanaan, sampai pada praksis pendidikan di tingkat mikro. Beberapa usulan langkah-langkah reformasi pendidikan nasional untuk menyongsong millennium ketiga adalah sebagai berikut :

Pertama, merumuskan visi dan misi pendidikan nasional kita yaitu :

“(1) Pendidikan hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokrasi bangsa sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat secara demokratis.

(2) Pendidikan hendaknya memiliki misi agar tercapai partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga secara mayoritas seluruh komponen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi terdidik” [Suyanto dan Hisyam, 2000:8].

Kedua, isi dan substansi pendidikan nasional yaitu :

(1) Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas siswa dalam totalitasnya. Oleh karena itu, tolok ukur keberhasilan pendidikan dasar tidak semata-mata hanya mengacu pada NEM. Persoalan-persoalan yang terkait dengan paradigma baru menegnai keberhasilan seseorang perlu mendapatkan perhatian secara emplementatif.

(2) Substansi pendidikan di jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi hendaknya membuka kemungkinan untuk terjadinya pengembangan individu secara vertikal dan horizontal. Pengembangan vertikal mengacu pada struktur keilmuan, sedangkan pengembangan horizontal mengacu pada keterkaitan dan relevansi antar bidang keilmuan. (3) Pendidikan tinggi hendaknya jangan semata-mata hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja. Tetapi lebih jauh dari itu harus memperkuat kemampuan dasar mahasiswa yang memungkinkan untuk berkembang lebih jauh, baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan yang global.

(4) Pendidikan nasional perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak terjadi pengelompokan dalam kelas belajar atas dasar kemampuan akademik.

(5) Pengembangan sekolah perlu

menggunakan pendekatan community based education. Dalam model in, sekolah dikembangkan dengan memperhatikan budaya dan potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

(6) Untuk menjaga relevansi outcame pendidikan, perlu diimplemantasikan filsafat rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat kebijakan dan praksis pendidikan. Dengan berorientasi pada filsafat ini, pendidikan akan mampu merekonstruksi berbagai bentuk penyakit sosial, mental dan moral yang ada dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya akan dapat ditanamkan sikap-sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya dalam konteks kehidupan yang kosmopolis dan plural [Suyanto dan Hisyam, 2000:11-12]..

Ketiga, manajemen dan anggaran yaitu :

(1) Perguruan tinggi perlu dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip otonomi dan accountability quality assurance. Dengan prinsip ini pada akhirnya perguruan tinggai harus mempertanggungjawabkan kinerja kepada masyarakat, orang tua, mahasiswa, maupun pemerintah.

(2) Manajemen pendidikan sekolah dasar hendaknya berada dalam satu sistem agar terjadi efisienei administrasi dan efisiensi pembinaan akademik para guru.

(3) Pendidikan tinggi hendaknya diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip menajemen yang fleksibel dan dinamis agar memungkinkan setiap perguruan tinggi untuk berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing dan tuntutan eksternal yang dihadapinya.

(4) Pengembangan akademik di perguruan tinggi perlu fleksibilitas yang tinggi agar tercipta kondisi persaingan akademik yang sehat.

(5) Guru dan dosen harus diberdayakan secara sistematik dengan melihat aspek-aspek, antara lain : kesejahteraan, rekruitmen dan penempatan, pembinaan dan pengembangan karier, dan perlindungan profesi.

(6) School based management perlu dikembangkan dalam kerangka desentralisasi atau devolusi pendidikan, agar lembaga-lembaga pendidikan dapat mempertahankan akuntabilitasnya terhadap stake holder pendidikan nasional.

(7) Pendidikan hendaknya mendapatkan proporsi alokasi dana yang cukup memadai agar dapat mengembangkan program-program yang berorientasi pada peningkatan mutu, relevansi, efisiensi dan pemerataan. Untuk itu, perlu ada peningkatan anggaran secara signifikan sehingga mencapai 25% dari APBN yang sedang berjalan. Karena anggaran pendidikan di Indonesia sangat rendah sehingga tidak mempu untuk mendukung berbagai inovasi di bidang pendidikan [Suyanto dan Hisyam, 2000:11-13].

Usulan-usulan reformasi pendidikan nasional tersebut, apabila dapat dilaksanakan secara terencana, sistimatis, mendasar dan perlu ada realisasi yang nyata, maka bangsa Indonesia siap untuk memasuki melienium ketiga. Sebab fondasi dan pilar-pilar pendidikan yang dibangun akan mampu berdiri kokoh menghadapi badai dan gelombang sebesar apa pun yang akan terjadi. Maka, untuk mengantisipasi perubahan dan langkah-langkah yang diusulkan pada pendidikan nasional tersebut, menurut hemat pemakalah, pendidikan Islam perlu dipersiapkan dengan melakukan terobosan pemikiran kembali suatu konsep pendidikan Islam yang baru yang dapat menjawab tantangan dan perubahan milineum ketiga. Sebab pendidikan Islam perlu dikembalikan kepada fungsinya yaitu memberdayakan masyarakat.

Pendidikan Islam perlu melakukan pembaruan dengan mewujudkan visi dan misi baru. Karena apabila kita ingin melakukan perubahan pendidikan Islam menuju masyarakat global pada milineum ketiga harus mempunyai visi yang jelas, “yaitu visi yang sesuai dengan konstitusi ialah mewujudkan hak-hak asasi manusia dan mengembangkan tanggung jawab anggota masyarakat yang dicita-citakan” [Tilaar,1999:4]. Oleh karena itu, “sistem pendidiakn Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari suatu perubahan [Azyumardi Azra, 1999:57] yang terjadi. Maka, pendidikan Islam di Indonesia yang posisinya sebagai sub-sistem pendidikan nasional, juga ikut mengalami perubahan politik bangsa pada era reformasi ini dituntut untuk merumuskan kembali visi pendidikan Islam yang baru untuk mewujudkan perannya yaitu membangun manusia dan masyarakat Indonesia yang mempunyai identitas berdasarkan budaya Islam Indonesia.

C. Pembaruan Pendidikan Islam Suatu Keharusan

Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, negara, maupun pemerintah. Karena penting, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistimatis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di Republik ini [Suyanto dan Hisyam, 2000:17]. Upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Maka, mau tidak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Oleh karena itu, tuntutan perubahan pendidikan selalu relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum, proses, fungsi, tujuan, manajemen lembagalembaga pendidikan, dan sumber daya pengelolah pendidikan.

Pembaruan pendidikan merupakan suatu proses multi demensonal yang kompleks, dan tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan, tetapi terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru [Jusuf Amir Faisal,1995:65], dan senantiasa berorientasi pada kebutuhan dan perubahan masyarakat. Oleh karena itu, upaya pembaruan pendidikan tidak akan memiliki ujung akhir sampai kapanpun. “Mengapa demikian? Karena persoalan pendidikan selalu saja ada selama peradaban dan kehidupan manusia itu sendiri masih ada.

Pembaruan pendidikan tidak akan pernah dapat diakhiri, apalagi dalam abad informasi seperti saat ini, tingkat obselescence dari program pendidikan menjadi sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan teknologi yang digunakan oleh masyarakat dalam sistem produksi dapat mengembangkan teknologi dengan kecepatan yang amat tinggi kerana ia harus bersaing dengan pasar ekonomi secara global, sehingga perhitungan efektivitas dan efesiensi harus menjadi pilihan utamanya [Suyanto dan Hisyam, 2000:17]. Tetapi sebaliknya disisi lain, “dunia pendidikan tidak dapat dengan mudah mengikuti perkembangan teknologi yang terjadi di masyarakat sebagai akibat sulit diterapkannya perhitungan-perhitungan ekonomi yang mendasarkan pada prinsip efesiensi dan efektivitas terhadap semua unsurnya. Tidak semua pembaruan pendidikan dapat dihitung atas dasar efisiensi dan untung rugi karena pendidikan memiliki misi penting yang sulit dinilai secara ekonomi, yaitu misi kemanusiaan” [Suyanto dan Hisyam, 2000:17].

Suatu usaha pembaruan pendidikan karena adanya tantangan kebutuhan dan perubahan masyarakat pada saat itu, dan pendidikan juga diharapkan dapat menyiapkan produk manusia yang mampu mengatasi kebutuhan dan perubahan masyarakat tersebut. Dengan demikian, pendidikan sebenarnya lebih bersifat konservatif, karena selalu mengikuti kebutuhan dan perubahan masyarakat. Sebagai contoh : misalnya, pada masyarakat agraris, konsep pendidikan didisain agar relevan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, begitu juga apabila perubahan masyarakat menjadi masyarakat industrial dan era informasi, maka pendidikan juga didisain mengikuti irama perkembangan masyarakat industri dan masayarakat era informasi, dan seterusnya.

Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Sebagai ilustrasi, pada saat Amerika mengejar kemajuan teknologi ruang angkasa Rusia, maka pada saat itu pendidikannya ditekankan pada Iptek. Demikian juga pada saat Amerika mengejar kemajuan ekonomi Jepang dan Jerman, maka pada saat itu pendidikannya ditekankan pada ekonomi. Dan akhir-akhir ini, ketika dirasakan lemahanya integrasi bangsa Amerika, maka pendidikan ditekankan untuk membangun integrasi bangsa (Sizer, 1992). Dengan indikator tersebut, akan menjadi lebih mudah meng-identifikasikan krisis pendidikan yang terjadi, dengan didasarkan pada indikator yang diukur dari tidak tercapainya tujuan tekanan pendidikan itu [Anas Syahrul dan Zaidie, 1999:29). Ketika dunia menghadapi gerakan globalisasi, Amerika Serikat, dalam dokumen America 2000: An Education Strategy, terdapat enam tujuan pendidikan nasional Amerika Serikat. Salah satunya bahwa Amerika Serikat memanginginkan memiliki pengaruh secara global. Maka untuk mencapai cita-cita itu, pendidikan nasional diformulasikan sebagai : US students will be first in the world in science and mathematics achievement [Suyanto dan Hisyam, 2000:22].

Dengan demikian, Amerika Serikat dalam salah satu strategi pendidikannya menginginkan mahasiswa dan para pelajarnya memiliki prestasi yang unggul di dunia dalam hal menguasai ilmu pengetahuan dan matematika. Keadaan pendidikan di Indonesia telah banyak dilakukan pembaruan. “Tujuan pembaruan itu akhirnya ialah untuk menjaga agar produk pendidikan kita tetap relevan dengan kebutuhan dunia kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya [Suyanto dan Hisyam, 2000:18]. Tetapi pada kenyataannya sampai kini, “pendidikan nasional terperangkap di dalam sistem kehidupan yang operatif sehingga telah terkungkung di dalam paradigma-paradigma yang tunduk kepada kekuasaan otoriter dan memperbodoh rakyat banyak [Tilaar, 1998:26].

Kenapa demikian, karena sistem pendidikan pada era Orde Baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif rezim ini memang telah mampu menunjukkan

prestasinya yang cukup baik di bidang pendidikan. Kemajuan-kemajuan pendidikan secara kuantitatif nampak kita rasakan selama Orde Baru Berkuasa [Suyanto, 1999:3], mungkin sampai saat reformasi sekarang ini. Pada sistem pendidikan Orde Baru, ada tiga ciri utama yang dapat dicermati di dalam pendidikan nasional kita sampai sekarang ini. “Pertama, adalah sistem yang kaku dan sentralistik; yaitu suatu sistem yang terperangkap di dalam kekuasaan otoritas pasti akan kaku sifatnya. Karena ciri-ciri sentralisme, birokrasi yang ketat, telah mewarnai penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Kedua, sistem pendidikan nasional di

dalam pelaksanaanya telah diracuni oleh unsur-unsur korupsi, kolusi, nepotisme dan konceisme (cronyism). ketiga, sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemberdayaan masayarakat. Untuk itu, tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat telah sirna dan diganti dengan praktek-praktek memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas [Tilaar,1998:26-28]. Di samping itu, sistem pendidikan kita sekarang ini belum mengantisipasi masa depan [Ahmad Tafsir, 1999:7] dan perubahan masyarakat.

Kondisi pendidikan Islam di Indonesia juga menghadapi hal yang sama, kenapa? Karena pendidikan Islam termasuk sub-sistem pendidikan nasional, juga terdesain mengikuti budaya dan politik bangsa yang dibangun pada masa Orde Baru. Sehingga gambaran pendidikan kaku, kurang kreatif, dan melahirkan manusia yang brutal juga bisa terjadi pada pendidikan Islam, apalagi secara intern pendidikan Islam masih menghadapi berbagai persoalan dalam berbagai aspek yaitu persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, dan namajemen pengelolaan. Memang patut diakui, upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaruan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh dan terkesan tambal sulam, sehingga “sebagain besar sistem pendidikan Islam, belum dikelolah secara profesional” [Azyumardi Azra, 1999:59]. Hal inipun didukung dengan “upaya pembaruan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh berbagai masalah, mulai dari persoalan dana sampai dengan tenaga ahli yang belum siap melakukan perubahan.

Untuk itu, pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas” [Muslih Usa, 1991:11]. Dengan kenyataan ini, semestinya “sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan” [Azyumardi Azra, 1999:57], apabila tidak, maka pendidikan Islam di Indonesia akan ketinggalan dalam persaingan global.

Mencermati permasalah kondisi pendidikan yang dikemukakan, maka ada dua alasan pokok yang perlu dilakukan pembaruan pada pendidikan Islam di Indonesia, yaitu : Pertama, konsepsi dan praktek pendidikan Islam sebagaimana tercermin pada kelembagaannya dan isi programnya didasarkan pada konsep atau pengertian pendidikan Islam yang sangat sempit yang hanya atau terlalu menekankan pada kepentingan akhirat. Kedua, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal sekarang ini, seperti madrasah dan pesantren, kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dan kebutuhan masyarakat yang selalau mengalami perubahan dan politik bangsa Indonesia yang sedang mengalami perubahan.

Maka, untuk menghadapi tuntutan dan perubahan masyarakat menuju masyarakat milenium ketiga, diperlukan usaha pembaruan pendidikan Islam secara terencana, sistimatis dan mendasar, yaitu : Pertama, perubahan pada konsepsi, praktek, dan isi program pendidikan Islam dilakukan upaya pembaruan sebagai berikut : (1) perlu pemikiran untuk menyususun kembali “konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia, terutama pada fitrah atau potensinya (Anwar Jasin, 1985:7-8) dengan memberdayakan potensi-potensi yang ada pada manusia sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakat, (2) pendidikan Islam harus didisain menuju pada integritas antara ilmu-ilmu naqliah dan ilmu-ilmu ‘aqliah, untuk tidak menciptakan jurang pemisah antara ilmu-ilmu yang disebut ilmu agama dan ilmu bukan ilmu agama atau ilmu umum. Karena, dalam pandangan Islam, semua ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. (3) “pendidikan didisain menuju tercapainya sikap dan perilaku “toleransi”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (4) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, (5) pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur” [Suroyo, 1991: 45-48] (6) pendidikan Islam didisain untuk menyiapkan generasi Islam yang berkualitas untuk mampu menjawab tantangan dan perubahan masyarakat dalam semua sektor kehidupan dan siap memasuki milenium ketiga, (7) pendidikan Islam perlu didisain secara terencana, sistimatik, dan mendasar agar lentur terhadap perubahan masyarakat dan peradaban.

Kedua, perubahan pada kelembagaan pendidikan Islam yaitu (1) perlu menyusun visi dan misi pendidikan Islam menuju milenium ketiga, (2) perlu penataan dan memodernisasika manajemen pendidikan Islam, (3) lembaga pendidikan dikelolah secara profesional dengan didasarkan pada prinsip kreatif, otonom, demokratis, transparan, berkualitas, relevan, dan efesiensi, (4) sistem rekruiting yang transparan dan berkualitas, (5) pengelolah lembaga pendidikan Islam perlu lapang dada, berani, dan terbuka untuk dapat menerima murid-murid atau mahasiswa-mahasiswa non-Islam. Mereka dapat mempelajari dan mengetahui Islam melalui institusi-institusi pendidikan Islam, bukan dari institusi-institusi non-Islam. “Al-Azhar, menurut Fazlur

Rahman suatu lembaga tradisional yang terbesar dewasa ini” [Fazlur Rahman, 1997:281], juga menerima mahasiswa-mahasiswa non-muslim belajar di Al-Azhar. Terobosan menerima masiswa non-Muslim, sudah dilakukan oleh Magister Studi Islam UII, yaitu dengan menerima seorang Pastor untuk belajar di Magister Studi Islam UII. Hal ini, juga ikuti oleh Fakultas Ilmu Agama Islam UII, dengan menerima mahasiswa non-Muslim yaitu seorang Pastor menjadi mahasiswa pendengar untuk beberapa mata kuliah yang dipilih oleh mahasiswa tersebut.

Usulan-usulan yang dikemukakan di atas, sebagai indikator usaha pembaruan pendidikan Islam. Tetapi suatu usaha pembaruan pendidikan dapat terencana dan terarah dengan baik apabila didasarkan pada kerangka dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Untuk itu, filsafat pendidikan dapat dikembangkan dengan menggunakan asumsi-asumsi dasar yang kokoh, dan jelas tentang manusia baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungannya dengan lingkungan, alam semesta, akhiratnya, dan hubungan vertikal dengan Maha Pencipta. Sedangkan, teori pendidikan dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara pendekatan filosofis dan pendekatan emperis” [Anwar Jasin,1985:8].

Maka, kerangka dasar pertama pembaruan pendidikan Islam adalah konsepsi filosofis dan teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia yang hubungannya dengan masyarakat, lingkungan dan ajaran Islam. Apabila kita akan mengadakan perubahan pendidikan Islam, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan kerangka dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan (sosial dan kultural). Tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuat maka pembaruan pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti [Anwar Jasin, 1985:9]. Kemudian langkah selanjutnya adalah mengembangkan kerangka dasar sistimik [Anwar Jasin,1985:10] yaitu kerangka dasar filosofis dan teoritis pendidikan Islam harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat, bangsa dan negara serta kepentingan umat di mana pendidikan itu diterapkan.

Apabila terlepas dari konteks masyarakat tersebut, maka pendidikan akan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat, bangsa dan negara Indonesia dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat menuju masyarakat madani Indonesia.

D. Penutup

Kebutuhan umat Islam pada era reformasi ini amat mendesak, yaitu peningkatan kualitas untuk menghadapi perubahan menuju milineum ketiga. Maka, pendidikan Islam haruslah dipersiapakan dan diupayakan untuk menuju masyarakat tersebut dengan merumuskan visi pendidikan Islam yang baru untuk membangun dan meningkatkan mutu manusia dan masyarakat Muslim. Apabila tidak melakukan pembahruan, maka pendidikan Islam akan tetap terbelakang dan tidak mampu bersaing dan tersingkir dalam kehidupan komunitas masyarakat pada milineum ketiga.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Pendidikan untuk Masa Depan, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru

Besar Luar Biasa Ilmu Pendidikan Islam pada Institut Agama Islam Lathifah

Mubarokiyah Pondok Pesantren Suryalaya, 5 September 1999.

Anas Syahrul Alimi dan M.Fadhilah Zaidie (Editor), Reformasi dan Masa Depan

Pendidikan Indonesia, Sebuah Rekonstruksi Pemikiran Prof.Dr.Djohar,MS,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.

Anwar Jasin, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan

Filosofis, Makalah Seminar Nasional, Jakarta, 10 Oktober 1985.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium

Baru, Logo Macana Ilmu, Jakarta, 1999.

Boediono, Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi, Aditya Media,

Yogyakarta, 1997.

Conference Book, London, 1978.

Djamaluddin Ancok, Peran Perguruan Tinggi Dalam Menyiapkan Manusia di

Milenium Ketiga, UII, Yogyakarta, 1998.

Fazlur Rahman, Islam, Terj.,Ahsin Mohammd, Pustaka, Bandung, 1997.

GBHN, Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, Tentang

GBHN (Garis-garis Besara Haluan Negara), Arkola, Surabaya, 1999.

H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif

Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998.

——, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi

Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, 1999.

Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press, Jakarta,

1995.

Muslim Usa (editor), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara

Wacana, Yogyakarta, Cet. I, 1991.

Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia

Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 2000.

Suyanto, Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional Abad 21, Makalah :

Seminar Nasional “Mencari Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional

Menghadapi Milenium Ketiga, 9 November 1999, ISPI dan Primagama,

Yogyakarta, 1999.

Soleh Salahuddin, Urgensi Reformasi Pendidikan dalam Menuju Indonesia Baru

Menggagas Reformasi Total, Ed. Musa Kazhim, Pustaka, Hidayat, 1998.

Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun

2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,

Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991

Oleh : Hujair AH. Sanaky

Tag: ,

Tinggalkan komentar